Pagi yang cerah itu Adi sendirian di rumah karena kuliahnya kosong. Adiknya sudah berangkat sekolah, sedangkan orang tuanya pergi ke luar kota. Setelah bangun tidur (biasanya kalau libur dia bangun agak siang, kira-kira jam 9), Adi menuju kamar mandi. Segera disiramnya tubuhnya dengan air dingin yang segar. Selesai mandi dan berpakaian, dia menuju meja makan untuk sarapan. Setelah itu baca-baca koran sebentar, kemudian beranjak ke teras depan rumah. Sambil duduk-duduk, dia menatap ke rumah depan yang didiami oleh Mbak Ine dan suaminya Mas Anto, tetangganya yang sering bertandang ke rumah Adi untuk ngobrol-ngobrol bersama ibunya atau keluarganya.
Mbak Ine adalah wanita yang cantik berumur kira-kira 28 tahun. Dia adalah seorang ibu rumah tangga yang modern, yang selalu mengikuti mode, sedangkan suaminya Mas Anto adalah tipe pria pekerja yang kadang selalu lupa waktu dan keluarga. Mas Anto umurnya kira-kira 35 tahun. Mereka berdua belum dikaruniai anak dan di rumah itu hanya tinggal bertiga bersama seorang pembantu yang berusia kira-kira 20 tahun serta seekor anjing Dalmatian peliharaan Mbak Ine.
Mas Anto mempunyai perusahaan warisan orang tuanya yang cukup besar dan sukses, sehingga waktunya sering tersita untuk memikirkan perusahaannya daripada memikirkan istrinya yang cantik dan seksi kesepian di rumah yang cukup besar itu. Dia hanya ditemani pembantu dan anjing setianya. Adi sendiri adalah seorang mahasiswa komunikasi jurusan advertising di sebuah fakultas swasta terkenal.
Sambil melamun, Adi tiba-tiba ingat tugas fotografinya untuk mengambil obyek outdoor. Segera dia masuk ke kamarnya mengambil kamera dan kembali ke teras depan. Sambil berjalan di taman, dia mencari-cari obyek untuk dijepret, berharap ada kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga peliharaan ibunya. Nah, ada seekor kupu-kupu yang hinggap, segera dia pasang aksi seperti fotografer profesional untuk mengambil gambarnya. Baru asik-asiknya motret, Adi dikejutkan oleh sapaan Mbak Ine yang tiba-tiba saja sudah masuk ke dalam taman di rumahnya.
"Eeeh... dik Adi... lho... kok nggak kuliah..? Baru ngapain tuh, motret yah..? Mbok motret Mbak Ine aja yang cantik ini daripada motret kupu-kupu..!" sapa Mbak Ine.
"Aduh, saya kirain siapa... bikin kaget aja Mbak Ine ini... Anu Mbak, hari ini aku libur, eh... Mbak Ine mau cari Ibu ya..? Baru ke luar kota tuh Mbak, pulangnya mungkin lusa." jawab Adi.
Sekilas Adi melihat dandanan Mbak Ine hari itu, cantik sekali dia dengan kaos you can see-nya yang memperlihatkan lengannya yang putih mulus dan rok mininya di atas lutut memperlihatkan kedua kaki jenjangnya yang berbetis indah dan berpaha putih mulus. Rambutnya yang panjang berwarna agak kemerahan digerai dengan bandana menghiasi kepalanya. Bibirnya yang seksi berwarna merah disapu lipstik tipis, pokoknya dahsyat dech dandanan Mbak Ine.
"Ahh... enggak, Mbak cuma mau maen aja, abis bosen sendirian di rumah. Si Suli baru ke pasar, jadi Mbak nggak ada kegiatan apa-apa nih..."
"Lho... Mas Anto apa udah berangkat Mbak..? Biasanya kan jam 10:00 baru ngantor..?" tanya Adi.
"Udah, tadi pagi-pagi sekali jam 8:00. Katanya mau meeting sama kliennya di kantor. Paling pulangnya juga baru ntar malem..." jawab Mbak Ine sambil menghela napas panjang.
"Dik Adi ngapain motret bunga segala..?" sambung Mbak Ine.
"Ini nih Mbak, buat tugas mata kuliah fotografi. Motret obyek outdoor..!" jawab Adi.
"Kalau udah sekarang motret Mbak Ine aja ya, Mbak kan nggak kalah cantik sama model-model cover girl di majalah itu, ya nggak..?" sahut Mbak Ine.
"Iya deh, Adi percaya kok kalau Mbak cantik, seksi lagi... tapi apa Mbak bersedia buat modelku. Kan ini nanti hasilnya untuk didiskusikan di depan kelas, Mbak..."
"Kenapa enggak... siapa tau nanti ada produser atau talent scout atau dosenmu yang tertarik untuk mengontrak Mbak. Kan Mbak jadi terkenal... hi.. hi.. hi.." canda Mbak Ine.
"Eh,.. ngomong-ngomong kamu bilang tadi, Mbak seksi ya..? Apa bener gicthu..?" sambil tangan Mbak Ine mencubit pinggang Adi.
Adi hanya tersenyum, dan kemudian menarik tangan Mbak Ine untuk mengarahkan gayanya jadi model pemotretan.
Setelah 15 frame diambil Adi, sekarang Mbak Ine malah yang aktif merubah sendiri gayanya. Dia tundukkan badannya ke depan sambil tangannya menyangga tubuhnya di bebatuan kolam, rambutnya dibiarkan tergerai ke belakang. Tatapan matanya tajam ke depan menatap kamera, sedangkan bibirnya yang sensual terbuka sedikit. Adi mengambil posisi di depan Mbak Ine, dia terperangah memandang pose Mbak Ine sambil gemetar memegang kamera. Karena dari pose itu terlihat jelas gundukan payudara Mbak Ine yang kenyal dan indah itu menggantung di balik kaos you can see yang berpotongan leher rendah. Melihat keindahan duniawi itu, membuat Adi menelan ludah dan segera mengabadikannya sebanyak 5 frame.
Setelah ganti pose, sekarang Mbak Ine duduk di atas bebatuan kolam sambil mengangkangkan kakinya lebar-lebar tapi tangannya diletakkan di depan selangkangannya sehingga menutupi celana dalamnya. Kepalanya dimiringkan sedikit dan bibirnya terbuka, tatapannya sayu seakan mengajak untuk tidur. Disuguhi pemandangan seperti itu, Adi blingsatan sendiri. Paha Mbak Ine yang mulus sekali serta betisnya yang indah, membuat Adi yang penggemar betis indah cewek ini ingin mengelus dan mengecup serta menjilatinya. Celana dalam Mbak Ine yang mengintip nakal berwarna ungu, nampak menggembung indah menggambarkan bukit kemaluannya walaupun sedikit terhalang oleh tangan Mbak Ine. Payudara Mbak Ine yang mengkal berukuran 34B, tampak tercetak jelas dihimpit kaos ketatnya. Tanpa disuruh lagi, si Adi yunior di balik celana pendeknya menggeliat bangun.
Setelah beberapa kali mengambil gambar, Mbak Ine melontarkan usul, "Dik Adi gimana kalo kita ganti setting? Ke rumah Mbak aja... kan nanti bisa di kolam renang segala. Entar Mbak bikinin spagheti kesukaan kamu deh... gimana..?"
Adi terdiam sejenak, kemudian mengangguk setuju. Lalu Adi membereskan kameranya dan mengunci pintu rumah. Selanjutnya Adi mengikuti langkah Mbak Ine dari belakang. Sambil berjalan Adi menatap Mbak Ine yang berjalan di depannya, sungguh seksi sekali wanita ini. Cara berjalannya, lenggak-lenggok pinggulnya, pantatnya yang padat bulat tercetak ketat di rok mininya, paha mulusnya, betis indahnya, oooh, sungguh indah. Ingin rasanya Adi menikmatinya.
Setelah masuk di dalam rumah, Mbak Ine mempersilahkan Adi menganggap sebagai rumah sendiri dan meminta Adi menunggu sebentar untuk ganti pakaian. Adi pun duduk di ruang tengah sambil nonton siaran TV kabel yang tidak terdapat di rumahnya. Adi memandang kagum rumah besar yang dihiasi perabotan modern itu yang menggambarkan kesuksesan bisnis Mas Anto. Siro, anjing Dalmatian Mbak Ine tampak berlari-lari kecil menghampiri Adi dan duduk tenang di sisi kaki Adi. Tidak lama, Suli pembantu Mbak Ine yang sudah pulang dari pasar, membawakan minum untuk Adi.
"Monggo lho Mas Adi... diminum dulu airnya... saya ke belakang dulu, mau masak."
"Ehm... iya Sul... makasih yaa... kamu udah pulang to...?" jawab Adi.
Suli ini memang usianya tidak berbeda jauh dengan Adi, dua tahun lebih muda dari Adi. Suli berasal dari Jawa Tengah, manis orangnya, putih kulitnya dan bisa dibilang seksi juga. Kalau diberi nilai, yah... 6 lah..! Adi sering juga mengintip si Suli ini kalau sedang menyiram taman dengan menggunakan celana pendek yang memamerkan paha mulusnya dan kaos ketat bekas pemberian Mbak Ine yang menampakkan gundukan payudaranya. Benar-benar terlihat masih murni dan belum terjamah lelaki.
Tidak lama kemudian, Mbak Ine turun dari kamarnya di lantai atas mengenakan jas kamar dan kemudian menghampiri Adi, lalu duduk di sebelahnya. Mbak Ine kemudian mengobrol sebentar dengan Adi, dan berkeluh kesah serta curhat tentang kesepiannya ditinggal oleh Mas Anto yang super sibuk. Hingga tidak disangka, Mbak Ine tanpa risih pun bercerita tentang kehidupan seksualnya bersama suaminya kepada Adi. Adi pun walaupun segan, tetap berusaha mendengarkan dan menghibur Mbak Ine. Sesekali sambil curhat, Mbak Ine duduk tidak beraturan hingga jas kamarnya tertarik dan tampaklah paha putih mulus yang dihiasi bulu-bulu halus. Adi pun menelan ludah melihat keindahan itu, yuniornya mulai berontak di dalam celananya.
Tiba-tiba Mbak Ine seperti tersadar kemudian berkata, "Aduh... sory ya, Di... Mbak kok malah jadi curhat. Padahal tadi kita kan mau pemotretan ya..? Ayo deh, kita langsung aja ke kolam renang di belakang," sambil menggeret tangan Adi menuju ke kolam renang.
Setelah sampai, Adi pun menyiapkan peralatannya, sementara Mbak Ine melepas jas kamarnya.
"Sudah siap Mbak..?" tanya Adi sambil membalikkan badan menatap Mbak Ine.
Adi terkesiap melihat Mbak Ine memakai bikini yang hanya menutupi sedikit payudaranya dan secarik celana dalam menutupi kemaluannya hingga bulu-bulu kemaluannya sedikit keluar dari celana yang bisa dibilang hanya seperti secarik kain itu. Kontan yunior Adi pun berteriak, "Merdekaaa..." mengacungkan kepalannya, berdiri tegak di dalam celananya sehingga tampak sedikit menggembung bila dilihat dari luar.
Mbak Ine yang melihat Adi melongo memandangnya hanya senyam-senyum saja, apalagi ketika Mbak Ine melihat tonjolan di celana Adi akibat kepalan merdeka yunior Adi.
"Heh... Di... ati-ati, ada lalat masuk mulut kamu ntar..." Mbak Ine menyadarkan Adi.
"Ehh.. Ehhmm.. ii.. iiya.. ya... Mbak..." jawab Adi gelagepan.
Mbak Ine sengaja jalan melenggak-lenggok di depan Adi dan kemudian merebahkan diri di sisi kolam renang sambil mengangkangkan kakinya untuk menggoda Adi. Adi hanya bisa melotot menyaksikan tubuh indah Mbak Ine.
"Di... ayo cepetan doong... dipotret. Kamu tuh kayak nggak pernah liat cewek pake baju renang aja..!"
"Iii.. iii.. iiiyaa... iyaa... Mbak.." sambil tangannya gemetar memegang kamera dan menekan tombol.
Akhirnya, setelah satu rol film dihabiskan di kolam renang, Mbak Ine tanpa memakai jas kamarnya lagi, menarik tangan Adi ke dalam lalu dibawanya ke lantai atas masuk ke kamarnya.
"Eh... Mbak mau kemana niih..?" tanya Adi.
"Ssst... udah diem aja, nanti kamu tau sendiri..!" jawab Mbak Ine.
Di dalam kamar yang luas terdapat sebuah tempat tidur besar, satu televisi 29 inchi dan perangkat stereo canggih, serta AC yang dingin. Adi menjadi semakin terbengong-bengong, sementara Mbak Ine langsung mengunci pintu kamar itu.
"Mbak... maaf, kita mau ngapain di sini..? Rasanya saya nggak pantes deh di sini. Ini kan kamar Mbak Ine sama Mas Anto." kata Adi.
Mbak Ine mendekati Adi, meletakkan telunjuknya di mulut Adi, dan menyuruh Adi untuk diam.
"Di... udah lama Mbak nggak pernah dipuji sama cowok, apalagi sama Mas Anto. Tadi Mbak seneng kamu bilang Mbak ini cantik dan seksi." kata Mbak Ine.
"Mbak pingin kamu potret Mbak dalam keadaan bugil..! Kamu mau khan... tolong Mbak... please... ya Di... Nanti kamu boleh melakukan apa aja yang kamu mau sama Mbak." lanjut Mbak Ine.
Adi terdiam, tapi matanya masih nakal melihat puting payudara Mbak Ine yang menonjol di penutup dadanya. Tanpa menunggu persetujuan Adi, Mbak Ine melepas penutup dadanya, sehingga sekarang terlihatlah kedua payudaranya yang bulat kencang dan indah itu menantang Adi.
Mbak Ine kemudian menyalakan TV dan stereo set lalu menyetel VCD porno.
Suara ah.. uh.. ah.. uh.. dari VCD terdengar keras, "Nggak pa..pa.... Di, kamar ini kedap suara kok. Jadi nggak bakalan ketauan kita ngapa-ngapain di sini." kata Mbak Ine seakan-akan tahu akan kekhawatiran Adi.
Mbak Ine mulai menggoyangkan badan meliuk-liuk seperti penari striptease ditingkahi suara VCD porno sambil tangannya menyusuri tubuhnya. Mulai dari payudaranya diremas-remas sendiri hingga dipermainkan putingnya, lalu turun ke perut dan kemudian masuk ke celana kecil dan bermain-main di vaginanya. Matanya merem-melek menikmati permainannya sendiri. Sementara Adi gemetaran mengambil gambar Mbak Ine, konsentrasinya terbelah, antara mengambil gambar dan terangsang nafsu birahinya.
Adi kemudian mendekat dan merebahkan dirinya di lantai kamar yang berkarpet itu untuk mengambil gambar Mbak Ine yang setengah bugil itu menari-nari di atasnya. Setelah jeprat-jepret, kemudian Mbak Ine yang masih mengangkanginya itu menarik tangan Adi dan membimbingnya menyentuh bukit kemaluan yang masih tertutup itu. Mbak Ine mendesis-desis dan menggeliat-geliat, Adi jadi terpana tidak menyangka Mbak Ine yang cantik dan yang selama ini dikenalnya itu bisa berubah menjadi liar seperti ini. Kemudian Mbak Ine menurunkan badannya, jongkok di atas Adi dan kemudian menindih Adi.
Sekarang bukit kemaluannya menekan keras yunior Adi yang sama-sama masih tertutup celana itu. Adi sendiri masih terus mengintai dari balik kamera dan menjepret ekspresi Mbak Ine yang sedang dalam keadaan terangsang hebat. Mbak Ine menggoyang-goyangkan pinggulnya dan mau tak mau Adi keenakan dan segera meletakkan kameranya di lantai. Kemudian Mbak Ine membungkuk dan mencium bibir Adi, dan Adi pun membalas sehingga mereka sekarang saling mengulum. Adi memeluk punggung halus Mbak Ine sehingga payudaranya yang bulat itu menekan kuat di dada Adi. Sejenak kemudian mereka melepaskan diri.
Mbak Ine kemudian melepas celananya sehingga sekarang 100 persen bugil. Rambut kemaluannya yang lebat tapi rapih itu terlihat menggairahkan. Adi yang sudah pernah menyetubuhi ceweknya itu pun tidak tinggal diam, dia juga melepas pakaiannya sehingga mereka berdua bugil sekarang. Mbak Ine kemudian duduk di pinggir tempat tidur dan merebahkan tubuhnya, lalu Adi jongkok di depan selangkangannya dan membuka kedua paha Mbak Ine lebar-lebar. Adi kemudian menciumi betis indah Mbak Ine dan menjilatinya bergantian kanan-kiri. Tangannya meraba-raba paha mulus Mbak Ine. Ciuman dan jilatan itu mulai naik ke paha dalam, terus sampai ke selangkangan dan sampailah ke klitoris.
"Oooohh.... aaahh.... Adiii.... trusss... Diii.... jilat terus sayang...."Adi pun dengan rakusnya terus menjilati dan menjorokkan hidungnya ke klitoris dan vagina Mbak Ine. Mbak Ine merapatkan pahanya ke kepala Adi untuk mendapatkan jilatan Adi yang intens itu. Hingga sampai suatu saat, tubuh Mbak Ine mengejang kuat dan berteriak keras, rupanya Mbak Ine sudah mencapai orgasmenya yang pertama. Adi pun terus menjilati cairan kenikmatan yang keluar dari liang senggama Mbak Ine dengan rakusnya. Setelah itu Adi bangkit dan mengelap wajahnya yang basah karena cairan kenikmatan dengan tangannya, lalu memandang Mbak Ine yang masih terengah-engah memejamkan mata sambil terbaring menghayati orgasmenya baru saja.
Adi kemudian merebahkan diri di ranjang di samping tubuh bugil Mbak Ine, lalu Mbak Ine pun bangkit dan meraih kejantanan Adi yang tegak keras itu.
Dielus-elus dengan lembut dan diciuminya kemaluan Adi, "Hmm... I like it... yummy..." ceracau Mbak Ine.
Kemudian dikocoknya pelan, terus meningkat cepat sampai Adi merem-melek tidak karuan gerakannya. Setelah itu, Mbak Ine membungkukkan kepalanya dan mulai memasukkan kejantanan Adi ke dalam mulutnya. Dikenyot-kenyot dan dihisap-hisap dengan kuat hingga Adi kelabakan karena diberi kenikmatan seperti itu. Adi merasa nikmat sekali, kalah jauh pacarnya jika dibandingkan dengan Mbak Ine. Adi merasa ada yang mau mendesak keluar dari kemaluannya namun ditahannya kuat-kuat sambil menarik kepala Mbak Ine untuk melepaskan kulumannya di penis Adi. Adi tidak mau spermanya terbuang sia-sia di mulut Mbak Ine, dia maunya menumpahkan spermanya di liang senggamanya Mbak Ine atau minimal di paha atau betisnya.
Mbak Ine menatap Adi dengan nanar, kemudian menggulingkan tubuhnya di samping Adi dan berkata, "Ayo Adi sayang, perbuatlah apa yang kamu suka... nggak usah takut... berikan Mbak perlawanan kamu yang hebat... sayang... Come on, honey..."
Adi pun tanpa basa-basi lagi, lalu menggumuli tubuh indah Mbak Ine, melumat bibir sensualnya, menciumi setiap inci tubuhnya hingga Mbak Ine menggelinjang. Meremas-remas payudaranya, mencaploknya dan menjilati putingnya dengan penuh nafsu. Terus menjilatinya dengan tujuan ke arah vagina, terus turun ke paha dan betis hingga tubuh Mbak Ine yang putih dan sintal itu sekarang basah oleh jilatan Adi.
"Auuh... oooh... aaahhh... ehhmmm... trusss... sayy... aaahhh..." Mbak Ine menggelinjang terkena tarian lidah Adi.
"Ayo sayaang... mana punya kamu... siiniii... shhh... cepeett... masukiiin... ooohh..." tangan Mbak Ine dengan tidak sabar menarik kejantanan Adi ke selangkangannya.
Adi pun mengerti dan maklum apa yang diinginkan Mbak Ine yang mungkin sudah lama tidak disentuh oleh Mas Anto, suaminya. Adi pun segera menempelkan kejantanannya ke bibir kemaluan Mbak Ine dan menggesek-gesekkannya di sana.
Mbak Ine menggerak-gerakkan kepalanya tidak karuan hingga rambutnya kusut mendapat gesekan kenikmatan dari Adi. Perlahan, kemudian Adi mengarahkan kepala penisnya ke depan lubang kenikmatan Mbak Ine, ditekannya.
"Sluupss..." meleset, dicobanya lagi, "Sluppss..." meleset lagi.
Mbak Ine menggelinjang karena kejantanan Adi yang meleset itu mengenai klitorisnya. Lalu Mbak Ine membantu menuntun kemaluan Adi, dan Adi menekan kuat-kuat hingga, "Sleppp.. Bless..." masuklah kepala kejantanan Adi ke dalam lubang kemaluannya.
"Auuuh... sayy... pelan... sakiiit... punya kamu gede banget..." jerit Mbak Ine.
Adi pun merasa linu karena kepala batang kejantanannya dijepit vagina Mbak Ine yang super sempit itu. Dicobanya menekan pelan-pelan hingga masuk perlahan-lahan batang penisnya. Dibantu dengan goyangan pinggul Mbak Ine, Adi menekan terus secara perlahan hingga masuklah semua batang kemaluannya ke dalam liang senggama Mbak Ine.
Sejenak Adi diam merasakan rasa nikmat penisnya dijepit bibir kemaluan super sempit Mbak Ine.
"Mbak... masih sakiit enggak..? Kalo masih sakit, udahan aja deh... kasihan Mbak nanti."
"Jangan... jangan dicabut... teruskan sayang... udah nggak sakit kok..!" spontan tangan Mbak Ine memeluk erat bahu Adi dan kakinya dilingkarkan di pinggang Adi.
Mendengar itu, Adi kemudian mulai melakukan gerakan penisnya maju-mundur. Lama kelamaan, gerakan itu semakin cepat dan cepat dan yang terdengar hanya dengusan nafas Adi dan desahan kenikmatan Mbak Ine. Adi memperlambat gerakannya untuk menurunkan tensi permainan, dan bangkit duduk sambil merengkuh tubuh Mbak Ine. Hingga sekarang, mereka berdua posisinya berhadapan berpangkuan, Adi terus menusuk-nusukkan kejantanannya sampai tubuh Mbak Ine menggelosor jatuh berbaring kembali di ranjang.
Adi mengganti posisi, sekarang dia berdiri di atas lututnya menusuk-nusukkan kejantanannya ke kemaluan Mbak Ine sambil tangannya merengkuh kaki Mbak Ine yang kiri, diciumi dan dijilati betisnya. Kembali ke posisi konvensional, sambil bergulingan Adi berpindah posisi membuat Mbak Ine bergerak di atas tubuhnya. Sekarang Mbak Ine yang aktif bergerak di atas tubuhnya. Mbak Ine merasa nikmat sekali dengan posisi demikian karena bisa mengontrol masuknya penis ke vaginanya. Tak lama kemudian, terasa denyutan teratur di dinding kemaluan Mbak Ine, Adi pun membantu memompa dari bawah dan memasukkan kejantanannya lebih dalam lagi.
"Aaaw... sayaaang... akuuu mmaauu... ke... keeluu... aaarrr... aaahhh..." dan "Creet... creeet..." cairan hangat keluar dari liang senggama Mbak Ine membasahi batang penisnya hingga keluar sampai pangkal kemaluannya. Itulah orgasme kedua Mbak Ine. Mbak Ine pun menggelosor lemah menindih tubuh Adi sambil memeluk Adi erat. Adi mengelus-elus rambut panjang Mbak Ine dan punggung halus mulusnya sementara tangan yang satunya meremas-remas pantat bulat Mbak Ine.
Mbak Ine sudah dua kali orgasme, sementara Adi belum keluar sama sekali, hingga setelah beberapa saat, keduanya terdiam, Adi mulai kembali memegang peranan. Dengan masih berpelukan, mereka berguling berganti posisi dengan penis masih di dalam vagina hingga kembali ke posisi konvensional. Diciumnya dengan lembut bibir sensual Mbak Ine dan dibalas dengan permainan lidah. Kembali Adi meremas-remas payudara Mbak Ine dan memainkan putingnya hingga Mbak Ine kembali terangsang. Adi mulai melakukan gerakan maju-mundur kejantanannya dan makin lama makin cepat.
"Plok... plok... plok..." suara selangkangan mereka berdua bertabrakan.
"Crop... cropp... cropp..." suara kemaluan Mbak Ine yang masih basah oleh cairan kenikmatan dirojok senjata tegangnya Adi.
Hingga tidak lama kemudian, Adi ingin keluar, "Oooh... Mbak... aaahh... akuuu... mmmaauuu keluuuaaarrr..."
"Terusin sayang, hehm.... oooh... kluarin di dalem ajaaa... saayyy... aaahhh..." jawab Mbak Ine.
Sebelum air mani Adi memancar, Mbak Ine kembali orgasme, hingga akhirnya setelah itu "Crooot... crooot... crooot..." air mani Adi dengan sukses keluar di dalam liang senggama Mbak Ine.
Terkabullah sudah keinginan Adi. Mbak Ine masih melingkarkan kakinya di pinggang Adi dan tangannya memeluk erat bahu Adi sambil pinggulnya digoyang-goyangkan.
Lima menit Adi mempertahankan posisi itu hingga terasa lemas. Penisnya mengkerut di dalam vagina Mbak Ine untuk relaksasi.
"Adi sayaaangg... kamu hebat deh... Mbak suka sama permainan kamu. Kalau kamu pingin lagi, jangan malu-malu bilang ama Mbak yach..! Ntar mbak kasih yang lebih dahsyat lagi... Oke sayang..." sambil mengecup bibir Adi dengan mesra.
"Mbak juga hebat... punya Mbak masih sempit dan enak jepitannya... apalagi goyangannya... wauw..." puji Adi.
Seperempat jam lamanya mereka berdua saling memuji, hingga akhirnya berbenah diri dan memakai kembali pakaian mereka masing-masing.
03 April 2009
Paranormal Mesum
Profesiku yang sebenarnya adalah pengacara, tetapi belakangan ini aku lebih dikenal sebagai seorang paranormal yang sanggup untuk memecahkan masalah-masalah yang sulit termasuk menyembuhkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh gangguan psikis. Sebenarnya ini semua hanya bermula dari keisenganku menggoda isteri temanku yang kukira sedang kesepian. Aku mencoba membohonginya dengan membaca beberapa ciri khas di tubuhnya demi untuk dapat menidurinya, tetapi di luar dugaanku ramalanku ternyata cocok, dan tanpa menceritakan affairku dengannya ternyata Evie sudah menceritakan kemampuanku ini pada semua kenalannya, sehingga aku menjadi seperti saat ini, paranormal!
Aku sangat menikmati kemampuan baruku ini, meskipun tidak pada setiap orang aku berani mengganggunya, tetapi anehnya hampir semua klienku bersedia menuruti permintaanku tanpa rewel, cuma seperti yang kukatakan, tak semuanya aku tiduri!
Seperti siang ini, di kantorku sudah ada beberapa wanita menungguku, ketika aku datang, aku sempat tersenyum kepada mereka dan memandang mereka satu persatu. Semuanya rata-rata perempuan kaya dan cantik, tetapi ada seorang ibu yang kelihatan anggun dengan tubuh yang tinggi besar sangat sesuai dengan seleraku. Di meja kerjaku kulihat berjajar empat lembar kartu kecil bertuliskan nama-nama pasienku, kartu ini dibuat oleh sekretarisku Mery. Kubaca satu persatu tetapi aku tak dapat menduga mana kartu ibu yang kuinginkan itu, sehingga kupanggil Mery untuk memanggil mereka satu demi satu.
Mery sudah menjadi sekretarisku selama 3 tahun, jarang ada sekretarisku yang tahan begitu lama, karena rata-rata mereka cantik sehingga mereka laku keras untuk kawin. Mery seringkali juga memuaskan nafsuku, terutama bila aku sedang iseng di kantor ini, kami sering main di meja kerja, di kursi bahkan di kamar mandi, semuanya kami lakukan dengan diam-diam tanpa ada seorangpun yang curiga. Mery pun tahu dengan jelas hobbyku main cewek, bahkan seringkali dia kusuruh mengintai manakala aku berhubungan seks dengan klienku dan biasanya setelah itu, Mery juga minta jatah karena dia tak dapat menahan nafsunya sendiri.
Mery dengan gayanya yang anggun dan alim segera memanggil salah satu dari tamuku, ketika si ibu masuk ternyata bukan ibu yang kuinginkan melainkan seorang ibu muda yang kelihatan genit tetapi wajahnya kelihatan kalau dalam keadaan sumpek. Kuperhatikan tubuhnya dari jauh, ia memakai blus tanpa lengan sehingga memamerkan lengannya yang mulus sementara tubuhnya langsing dengan pantat yang besar. Bibirnya agak tebal dan wajahnya cantik sekali. Ia langsung menyalamiku dan memperkenalkan namanya Ria, rupanya ia lebih senang dipanggil dengan nama kecilnya daripada dengan nama suaminya, aku yakin dia sudah bersuami karena sempat kulihat cincin kawin berlian yang melingkar di jarinya.
Setelah berbasa-basi sejenak Ria segera menceritakan masalahnya kepadaku, rupanya dia sedang dalam kesulitan karena hobbynya bermain judi. Meskipun judi dilarang di Jakarta ini, tetapi ia berjudi melalui jaringan parabola, katanya dia dulu menang cukup banyak tetapi sudah dua bulan ini dia terus-menerus sial sehingga hampir semua hartanya habis. Saat ini dia takut kalau suaminya tahu dan dia akan diceraikan.
Aku tersenyum mendengar ceritanya ini, bagiku ini kasus biasa dan mudah, pasti beres. Tanpa membuang waktu aku menanyai Ria apakah menjelang dia kalah terus itu dia pernah melakukan sesuatu yang kurang baik, dia menyatakan rasanya kok tidak pernah, karena katanya kalau dia menang maka dia selalu baik kepada orang lain. Aku berkata kepadanya bila memang begitu maka kemungkinan sialnya ada di badannya dan aku harus mencarinya dan kemudian menangkalnya.
Tanpa ragu kusuruh ia membuka pakaiannya dan telanjang bulat di depanku. Ria memandangku dengan tajam dan kemudian dia bangkit dan mulai melepas pakaiannya. Diluar kebiasaan yang aku ketahui, yang pertama dibuka Ria adalah roknya dan kemudian celana dalamnya sehingga aku langsung dapat melihat vaginanya yang dihiasi bulu vagina yang hitam, baru kemudian dia membuka blus dan BH-nya. Seperti dugaanku payudara Ria tidak terlalu montok tetapi mengkal dan bulat dengan pentil merah muda.
Dalam keadaan telanjang bulat Ria berdiri mematung di depanku. Kakinya rapat dan tangannya terlipat di perutnya. Kusuruh ia berputar sehingga aku juga dapat melihat pantatnya yang montok itu, benar-benar seksi. Dari apa yang kulihat aku langsung menyuruhnya duduk di depanku. Kukatakan bahwa aku sudah tahu dimana letak sialnya yaitu dari paha kanannya. Aku katakan bahwa semuanya sudah beres.
Ria rasanya tidak percaya kalau aku mengatakan seperti itu, dia minta agar aku membuktikan kata-kataku itu. Dengan ngawur aku minta dia mencabut bulu vaginanya sendiri secara sembarangan, Ria menuruti permintaanku itu dan meletakkan bulu vaginanya di mejaku. Kusuruh ia menghitungnya ternyata jumlahnya 3 lembar, kusuruh ia mencabut sekali lagi dan kali ini jumlahnya 4 lembar. Kuminta dia untuk memasang taruhan diangka 34 atau 43 dan buktikan sendiri. Baru saat itu Ria bisa tersenyum, ia mengucapkan terima kasih dan segera kuminta ia berpakaian kembali. Selesai merapikan pakaiannya, Ria menjabat tanganku erat-erat dan mengatakan terima kasih. Aku mengangguk ramah, dan aku yakin bilamana saat itu aku minta dia untuk menghisap penisku pasti dia dengan senang hati mau melakukannya, tetapi aku punya target lain.
Ketika Ria keluar seorang ibu menyusul masuk, lagi-lagi bukan ibu yang kuinginkan kali ini seorang ibu berumur sekitar 40 tahunan, wajahnya cantik tanpa polesan make up yang menyolok, ia memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Sugito, seorang pejabat penting yang pernah kudengar namanya. Ia langsung bercerita kalau suaminya punya simpanan wanita yang hebat sehingga dia merasa sedih sekali. Meskipun sejak dulu dia tahu kalau suaminya sering main perempuan, tetapi baru kali ini dia kecantol dengan pacarnya. Aku langsung mengatakan bahwa aku harus melihat tubuhnya agar bisa melihat di mana letak masalahnya. Mulanya ibu ini agak keberatan dan dia bertanya apakah tidak bisa kalau hanya dengan melihat wajah atau bagian lain yang terbuka. Aku hanya berkata enteng, kalau ibu percaya pada saya silakan, kalau tidak silakan juga kembali karena hanya itu caraku memeriksa pasien.
Dengan hati berat dia mulai membuka pakaiannya, pertama yang dibukanya adalah jacket ungunya, ketika ia melepaskan jacket itu aku sempat melihat ketiaknya yang lebat dengan bulu, aku sempat tertegun melihatnya karena bila ketiaknya saja seperti itu alangkah lebat bulu vaginanya. Payudara Bu Sugito montok tetapi sudah agak kendur dengan pentil coklat kehitam-hitaman, ketika ia selesai membuka roknya, kembali ia ragu. Gerakannya terhenti sementara ia berdiri dengan hanya memakai celana dalam tipis berwarna putih yang jelas sekali menampakkan bayangan bulu vaginanya yang hitam dan lebat itu. Aku sengaja mendiamkannya karena aku mau melihat apa yang dimaui ibu ini, tetapi aku sudah merencanakan bahwa ibu yang satu ini akan aku periksa habis-habisan biar dia kapok.
Akhirnya Bu Sugito jadi juga membuka celananya sehingga terpampanglah di hadapanku tubuhnya yang mulus dengan bulu yang sangat lebat di pangkal pahanya serta di ketiaknya. Dari yang aku lihat ini aku langsung tahu bahwa ibu ini hiperseks. Jadi aku heran juga kenapa dia begitu ragu-ragu untuk telanjang di hadapanku, hal ini membuatku jadi ingin mengetahui sebabnya.
Ibu Sugito hanya berdiri mematung di depanku tangannya berusaha menutupi pangkal pahanya. Aku langsung berdiri dari kursiku dan berjalan mendekatinya, aku memutari tubuhnya yang bersih dan harum itu, tetapi tak ada sesuatu yang janggal. Tanpa ragu kusuruh dia duduk di sofa yang ada di ruang kerjaku dan kubaringkan. Dengan pelahan aku merentangkan kakinya sehingga aku dapat melihat vaginanya yang penuh bulu itu, karena bulunya sangat lebat, terpaksa aku menyibakkannya sehingga dapat kulihat bibir kemaluannya. Aku agak kaget ketika kulihat liang vagina Ibu Sugito ini begitu lebar dan bibirnya menjuntai keluar. Rupanya Ibu Sugito senang masturbasi dengan alat-alat sehingga liangnya jadi molor seperti ini.
Aku langsung menanyakan hal ini kepadanya dan dengan malu-malu dia mengiakan dugaanku. Untuk menangkal masalahnya, aku minta Ibu Sugito untuk saat itu juga melakukan masturbasi di depanku, dengan ragu-ragu ia berdiri dan mengambil handbagnya, dari situ ia mengeluarkan sebuah alat mirip penis yang berwarna coklat, setelah itu dia duduk lagi dan mengambil posisi seperti jongkok untuk kemudian penis karet itu dimasukkannya ke dalam liang vaginanya sampai amblas tinggal pangkalnya saja. Setelah itu dia memutar-mutar pantatnya di atas penis karet itu sambil memejamkan matanya.
Aku sendiri jadi tak tahan melihat pemandangan ini, akupun duduk di depannya dan kukeluarkan penisku yang langsung juga kukocok-kocok mengimbangi Bu Sugito yang sedang asyik, Bu Sugito jadi kaget ketika melihat aku mengeluarkan penisku yang begitu panjangnya, gerakannya terhenti memandang penisku yang 18 cm itu. Ternyata dia berani juga menanyakan mengapa kok tidak penisku saja yang dimasukkan vaginanya agar benar-benar nikmat, aku mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan itu. Kuminta dia agar segera berusaha mencapai puncak kenikmatannya.
Rupanya Ibu Sugito tidak tahan melihat tanganku mengelus-elus penisku sendiri yang tegak lurus seperti tiang bendera itu. Ia mulai merintih makin lama makin keras dan akhirnya ia mengejang mencapai kepuasannya. Dasar hiperseks, ketika ia melepas penis karetnya, tangannya ikut-ikutan meremas penisku dengan lembut. Aku berkata kepadanya bahwa aku mau memasukkan penisku ke vaginanya asal aku tidak melakukan gerakan apapun. Ibu Sugito mengangguk dan akupun segera mengarahkan penisku ke antara selangkangan Bu Sugito yang sudah merentangkan kakinya lebar-lebar itu. Sekali tekan penisku masuk separuh dan ternyata aku tidak bisa menghabiskan seluruh penisku ke dalam liangnya. Aku benar-benar heran, karena dengan penis karet yang begitu besar dia sanggup menelannya sampai habis, tetapi kenapa penisku kok hanya masuk tiga perempatnya. Aku tidak peduli, sementara Ibu Sugito sibuk memutar-mutar pantatnya agar dia dapat mencapai orgasme lagi. Memang benar sekitar 5 menit dia merintih keras dan kurasakan cairan hangat membasahi ujung penisku. Tanganku segera meraih interkom dan kupanggil Mery agar masuk.
Ketika Mery memasuki ruanganku, Ibu Sugito jadi kaget dan berusaha menutupi tubuhnya, tetapi Mery tak peduli, dia langsung mendatangiku yang duduk di kursi. Aku minta Mery untuk mengambil tisue basah dan membersihkan penisku yang masih gagah itu dengan tisue. Mery dengan sigap mengeringkan cairan vagina Ibu Sugito yang ada di penisku sementara aku diam saja di atas kursi, ketika semuanya sudah kering dan bersih, Mery tanpa sungkan sempat mengulum ujung penisku serta meremasnya sebelum dia masuk lagi ke ruangannya. Aku langsung kembali ke tempat dudukku dan segera kuberikan penangkal tambahan untuk masalah Ibu Sugito ini, aku yakin bahwa dalam waktu 1 minggu suaminya akan kembali kepadanya, karena sebenarnya Ibu Sugito sangat pandai memuaskan suaminya hanya saja mungkin belakangan ini dia terlalu sering main sendiri sehingga dia jadi lengah.
Baru pasien yang ketiga, ibu yang aku inginkan memasuki ruangan kantorku, benar-benar cantik dan anggun tinggi besar dengan rambut sebahu, bibir sensual dan hidung mancung, kakinya mulus dan ramping benar-benar aduhai. Ketika memperkenalkan diri, tangannya terasa hangat dan empuk sekali, suaranya yang agak serak membuatku makin terangsang sehingga hampir aku tidak mendengar ketika ia menyebutkan namanya Pratiwi. Aku berusaha bersikap tenang dan wajar mendengarkan keluhannya. Pratiwi adalah seorang pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah, omzetnya miliaran, tetapi belakangan ini bisnisnya mengendur karena banyak tender yang meleset dan jatuh ke tangan pengusaha lain. Dia sudah berusaha macam-macam tetapi semuanya gagal total bahkan belakangan ini perusahaannnya hampir kena penalti karena kekeliruan karyawannya.
Pratiwi benar-benar gelisah dan ngeri oleh semuanya ini. Wajahnya yang cantik kelihatan tegang dan di cuping hidungnya kulihat bintik-bintik keringat menambah keseksiannya. Melihat aku memandangnya, Pratiwi juga balas memandang tanpa berkedip.
Tiba-tiba aku bertanya kepadanya, apakah dia percaya bahwa kehidupan seksnya sangat mempengaruhi pekerjaannya, Pratiwi mengangguk dengan pelan, kulihat matanya sedikit berkedip seperti kaget. Aku langsung menyambung pertanyaanku dengan pertanyaan yang aku sendiri tidak menyangka kalau itu keluar dari mulutku, karena aku menanyakan apakah dia seorang lesbian. Di luar dugaanku dia mengangguk, tetapi dia menambahkan bahwa dia juga suka berhubungan dengan pria. Aku menanyakan kepada Pratiwi, coba ibu tebak, berapa kira-kira panjang kemaluan saya, karena jika ibu bisa tepat menduganya, maka berarti saya dapat menangkal masalah ibu.
Pratiwi agak menyeringai mendengar perkataanku itu. Dengan ragu ia bertanya maksudnya panjang waktu tidur atau waktu berdiri. Aku menjelaskan yang mana saja pokoknya tepat. Pratiwi terdiam sambil berpikir keras, aku tahu dia bingung karena saat itu aku duduk di kursi di belakang meja kantorku, dan akupun memakai pakaian lengkap sehingga dia tidak mempunyai bayangan apapun tentang penisku.
Tiba-tiba saja dia meraih penggaris yang ada di mejaku dan merentangkan jari-jarinya di atas penggaris itu untuk kemudian ditunjukkannya kepadaku. Aku melihat angka yang tertera di ujung jari Pratiwi, aku kaget karena di situ tercantum angka 18.5 cm, hampir sesuai dengan kenyataannya. Pratiwi bertanya apakah itu benar, aku hanya berkata coba ukur saja sendiri. Aku langsung berdiri memutari mejaku dan mendekati Pratiwi yang sedang duduk, kubuka celanaku dan kukeluarkan penisku yang masih lemas itu. Pratiwi melirik penisku dan mengambil penggaris untuk mencoba mengukurnya, dengan ragu-ragu satu tangannya memegang penisku sementara yang satunya memegang penggaris. Tentu saja ukurannya tidak tepat karena masih lemas, seperti yang sudah kuduga, tangan Pratiwi meremas-remas penisku agar bangun dan mengurut-urut. Kubiarkan saja semua gerakannya itu, tetapi percuma saja karena penisku tetap tidur nyenyak.
Tiba-tiba saja ia menundukkan kepalanya dan..., slepp..., penisku sudah terjepit di antara bibirnya yang tebal itu, terasa hangat dan lembut sekali, kurasakan bibirnya menjepit penisku dengan gerakan yang lancar meskipun tak sedikitpun Pratiwi membasahi penisku dengan ludahnya. penisku mulai bangun dan makin lama makin mengembang, sementara Pratiwi makin lancar mengulumnya, tanganku mulai bergerak meraba buah dada Pratiwi yang montok dan kenyal itu, tanpa ragu-ragu tanganku menerobos blousenya dan meremas buah dadanya, tak kukira bahwa Pratiwi tidak memakai beha, aku dapat merasakan puting susunya yang kecil tetapi keras seperti batu itu, kuremas-remas payudaranya, dan kupelintir puting susunya.
Rasa geli di sekeliling penisku membuatku jadi tak tahan lagi, bayangkan sejak tadi aku sudah terangsang oleh ulah beberapa ibu yang aku temui, maka saat ini rasanya sudah maksimal dan, syer..., syer..., croot, air maniku memancar keras sekali dua, tiga dan empat kali memancar memenuhi mulut Pratiwi, tak sedikitpun Pratiwi melepaskan penisku semuanya masuk di dalam mulutnya dan saking banyaknya sampai sebagian mengalir keluar dari samping bibirnya. Aku meremas buah dadanya sekeras-kerasnya Pratiwi diam saja, dia asyik menelan air maniku.
Setelah dilihatnya aku sudah puas, Pratiwi mengeluarkan penisku dari mulutnya dan langsung diukurnya penisku yang masih berdiri itu dengan penggaris. Dia tersenyum ketika melihat bahwa dugaannya benar. Aku juga tersenyum karena hisapan Pratiwi yang nikmat itu. Tiba-tiba Pratiwi berdiri, tanpa kuduga ia mulai membuka pakaiannya sehingga telanjang bulat. Ia berkata bahwa sekarang saatnya aku memuaskan dia agar jadi seri. Aku jadi bernafsu lagi melihat tubuh Pratiwi yang luar biasa itu, payudaranya montok dan kenyal dengan puting yang berwarna merah muda sangat serasi sekali dengan kulitnya yang putih kekuning-kuningan itu, sementara ketiaknya juga berbulu lebat, sesuatu yang sangat aku senangi, sedangkan pangkal paha Pratiwi benar-benar menakjubkan, karena meskipun bulu vaginanya sangat lebat, tetapi Pratiwi telah mencukur sebagian bulu kemaluannya sehingga hanya tinggal bagian tengahnya tegak lurus dari pusar sampai ke bukit vaginanya.
Meskipun saat itu kami masih sama sama berdiri, Pratiwi tak segan-segan merapatkan tubuhnya dan menciumku dengan mengeluarkan lidahnya yang hangat menelusuri rongga mulutku, tanganku dengan lincah mengarahkan penisku ke liang vaginanya yang tepat menempel di depan penisku itu. Begitu ujungnya menempel, aku segera menggendong Pratiwi dan menekankan penisku sampai amblas ke dalam liang vaginanya. Dengan posisi menggendong Pratiwi dan mulut masih berkutat dengan ciuman aku berjalan menuju sofa. Pratiwi benar benar pemuas nafsu pria rupanya, karena meskipun dalam posisi yang sulit yaitu aku menggendongnya dan kakinya menjepit pantatku, dia masih sempat juga menggerak-gerakan pantatnya untuk memilin penisku yang sepertinya melengkung karena posisi tubuh kami yang berdiri ini. Begitu kami roboh di atas sofa, ciuman kami terlepas dan Pratiwi melenguh sejenak, mungkin dia merasakan enaknya sodokan penisku yang notok sampai ke liang rahimnya itu.
Tanpa malu-malu Pratiwi mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan meletakkannya di atas bahuku. Posisiku jadi bebas sekali, dengan ringan aku mendayung liang vagina Pratiwi yang sudah mulai becek itu, dan diapun dengan lincah memutar-mutar pantatnya mengimbangi tusukan penisku. Kurasakan liang vagina Pratiwi yang peret dan berpasir itu membuat penisku terasa geli sekali, entah berapa lama aku memaju-mundurkan pantatku, tetapi Pratiwi masih juga belum mencapai puncaknya begitu juga diriku sendiri. Kuhentikan gerakanku dan kuminta Pratiwi untuk menungging agar aku bisa menyetubuhinya dari belakang, aku benar-benar mata gelap dengan nafsu. Aku tak peduli lagi kalau mungkin di luar masih ada pasien yang menungguku, yang penting sekali ini aku harus membuat Pratiwi terpuaskan dan selanjutnya membantu kesulitannya agar tertanggulangi.
Ketika Pratiwi sudah menungging, tampaklah vaginanya yang sudah basah kuyup itu di pantatnya juga banyak bulu vagina sebagai tanda kalau memang bulu vagina Pratiwi luar biasa tebalnya. Aku langsung menempelkan ujung penisku yang sudah merah padam itu ke celah vagina Pratiwi dan, "slep..., bloos..", penisku amblas sampai hanya tinggal pelirku saja yang menggantung di luar. Tanganku meraih buah dada Pratiwi dan meremas-remasnya, saat itu mulai kudengar rintihan Pratiwi mula-mula pelan tetapi makin lama makin keras dan tiba-tiba kurasakan liang vagina Pratiwi mengejang-ejang dan hangat sekali. Kurasakan rasa geli dan nikmat yang luar biasa saat itu, karena jepitan vagina Pratiwi sementara aku merojoknya membuat penisku seperti diurut. Dan tanpa bisa kutahan lagi akupun ambrol merasakan nikmatnya vagina Pratiwi, air maniku menyembur menabrak dinding kemaluannya dan bercampur dengan lendir yang keluar dari vaginanya. Aku terkulai lemas sementara Pratiwi menggigit pundakku karena menahan rasa nikmat dan agar tidak sampai berteriak karena rasa nikmat tadi.
Dalam keadaan masih gemetar, aku segera memakai pakaianku kembali begitu juga dengan Pratiwi, wajahnya semeringah dan tersenyum terus. Aku berpura-pura seperti tak ada apa-apa dan setelah kami berdua duduk berhadapan, aku memanggil Mery masuk. Mery tersenyum melihat wajahku yang mungkin kentara kalau habis main seks itu. Aku minta dibuatkan minum dan Mery dengan patuh membuatkan minuman buat kami berdua. Bagiku masalah Pratiwi bukan hal yang sulit dengan bermeditasi sejenak aku sudah berhasil menyelesaikan masalahnya, karena ada bapak pejabat yang pernah ditolak olehnya untuk berhubungan intim rupanya sakit hati dan selalu mempersulit Pratiwi. Aku katakan pada Pratiwi bahwa bapak itu sekarang sudah berubah tetapi sebaiknya Pratiwi jangan sekali kali memberi dia kenikmatan karena berbahaya. Pratiwi mengangguk manja dan ketika mau pulang dia sempat mencium bibirku lama sekali. Aku berjanji pada Pratiwi untuk sekali kali makan siang dengannya tentu setelah itu kita juga perlu kenikmatan seks.
Aku sangat menikmati kemampuan baruku ini, meskipun tidak pada setiap orang aku berani mengganggunya, tetapi anehnya hampir semua klienku bersedia menuruti permintaanku tanpa rewel, cuma seperti yang kukatakan, tak semuanya aku tiduri!
Seperti siang ini, di kantorku sudah ada beberapa wanita menungguku, ketika aku datang, aku sempat tersenyum kepada mereka dan memandang mereka satu persatu. Semuanya rata-rata perempuan kaya dan cantik, tetapi ada seorang ibu yang kelihatan anggun dengan tubuh yang tinggi besar sangat sesuai dengan seleraku. Di meja kerjaku kulihat berjajar empat lembar kartu kecil bertuliskan nama-nama pasienku, kartu ini dibuat oleh sekretarisku Mery. Kubaca satu persatu tetapi aku tak dapat menduga mana kartu ibu yang kuinginkan itu, sehingga kupanggil Mery untuk memanggil mereka satu demi satu.
Mery sudah menjadi sekretarisku selama 3 tahun, jarang ada sekretarisku yang tahan begitu lama, karena rata-rata mereka cantik sehingga mereka laku keras untuk kawin. Mery seringkali juga memuaskan nafsuku, terutama bila aku sedang iseng di kantor ini, kami sering main di meja kerja, di kursi bahkan di kamar mandi, semuanya kami lakukan dengan diam-diam tanpa ada seorangpun yang curiga. Mery pun tahu dengan jelas hobbyku main cewek, bahkan seringkali dia kusuruh mengintai manakala aku berhubungan seks dengan klienku dan biasanya setelah itu, Mery juga minta jatah karena dia tak dapat menahan nafsunya sendiri.
Mery dengan gayanya yang anggun dan alim segera memanggil salah satu dari tamuku, ketika si ibu masuk ternyata bukan ibu yang kuinginkan melainkan seorang ibu muda yang kelihatan genit tetapi wajahnya kelihatan kalau dalam keadaan sumpek. Kuperhatikan tubuhnya dari jauh, ia memakai blus tanpa lengan sehingga memamerkan lengannya yang mulus sementara tubuhnya langsing dengan pantat yang besar. Bibirnya agak tebal dan wajahnya cantik sekali. Ia langsung menyalamiku dan memperkenalkan namanya Ria, rupanya ia lebih senang dipanggil dengan nama kecilnya daripada dengan nama suaminya, aku yakin dia sudah bersuami karena sempat kulihat cincin kawin berlian yang melingkar di jarinya.
Setelah berbasa-basi sejenak Ria segera menceritakan masalahnya kepadaku, rupanya dia sedang dalam kesulitan karena hobbynya bermain judi. Meskipun judi dilarang di Jakarta ini, tetapi ia berjudi melalui jaringan parabola, katanya dia dulu menang cukup banyak tetapi sudah dua bulan ini dia terus-menerus sial sehingga hampir semua hartanya habis. Saat ini dia takut kalau suaminya tahu dan dia akan diceraikan.
Aku tersenyum mendengar ceritanya ini, bagiku ini kasus biasa dan mudah, pasti beres. Tanpa membuang waktu aku menanyai Ria apakah menjelang dia kalah terus itu dia pernah melakukan sesuatu yang kurang baik, dia menyatakan rasanya kok tidak pernah, karena katanya kalau dia menang maka dia selalu baik kepada orang lain. Aku berkata kepadanya bila memang begitu maka kemungkinan sialnya ada di badannya dan aku harus mencarinya dan kemudian menangkalnya.
Tanpa ragu kusuruh ia membuka pakaiannya dan telanjang bulat di depanku. Ria memandangku dengan tajam dan kemudian dia bangkit dan mulai melepas pakaiannya. Diluar kebiasaan yang aku ketahui, yang pertama dibuka Ria adalah roknya dan kemudian celana dalamnya sehingga aku langsung dapat melihat vaginanya yang dihiasi bulu vagina yang hitam, baru kemudian dia membuka blus dan BH-nya. Seperti dugaanku payudara Ria tidak terlalu montok tetapi mengkal dan bulat dengan pentil merah muda.
Dalam keadaan telanjang bulat Ria berdiri mematung di depanku. Kakinya rapat dan tangannya terlipat di perutnya. Kusuruh ia berputar sehingga aku juga dapat melihat pantatnya yang montok itu, benar-benar seksi. Dari apa yang kulihat aku langsung menyuruhnya duduk di depanku. Kukatakan bahwa aku sudah tahu dimana letak sialnya yaitu dari paha kanannya. Aku katakan bahwa semuanya sudah beres.
Ria rasanya tidak percaya kalau aku mengatakan seperti itu, dia minta agar aku membuktikan kata-kataku itu. Dengan ngawur aku minta dia mencabut bulu vaginanya sendiri secara sembarangan, Ria menuruti permintaanku itu dan meletakkan bulu vaginanya di mejaku. Kusuruh ia menghitungnya ternyata jumlahnya 3 lembar, kusuruh ia mencabut sekali lagi dan kali ini jumlahnya 4 lembar. Kuminta dia untuk memasang taruhan diangka 34 atau 43 dan buktikan sendiri. Baru saat itu Ria bisa tersenyum, ia mengucapkan terima kasih dan segera kuminta ia berpakaian kembali. Selesai merapikan pakaiannya, Ria menjabat tanganku erat-erat dan mengatakan terima kasih. Aku mengangguk ramah, dan aku yakin bilamana saat itu aku minta dia untuk menghisap penisku pasti dia dengan senang hati mau melakukannya, tetapi aku punya target lain.
Ketika Ria keluar seorang ibu menyusul masuk, lagi-lagi bukan ibu yang kuinginkan kali ini seorang ibu berumur sekitar 40 tahunan, wajahnya cantik tanpa polesan make up yang menyolok, ia memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Sugito, seorang pejabat penting yang pernah kudengar namanya. Ia langsung bercerita kalau suaminya punya simpanan wanita yang hebat sehingga dia merasa sedih sekali. Meskipun sejak dulu dia tahu kalau suaminya sering main perempuan, tetapi baru kali ini dia kecantol dengan pacarnya. Aku langsung mengatakan bahwa aku harus melihat tubuhnya agar bisa melihat di mana letak masalahnya. Mulanya ibu ini agak keberatan dan dia bertanya apakah tidak bisa kalau hanya dengan melihat wajah atau bagian lain yang terbuka. Aku hanya berkata enteng, kalau ibu percaya pada saya silakan, kalau tidak silakan juga kembali karena hanya itu caraku memeriksa pasien.
Dengan hati berat dia mulai membuka pakaiannya, pertama yang dibukanya adalah jacket ungunya, ketika ia melepaskan jacket itu aku sempat melihat ketiaknya yang lebat dengan bulu, aku sempat tertegun melihatnya karena bila ketiaknya saja seperti itu alangkah lebat bulu vaginanya. Payudara Bu Sugito montok tetapi sudah agak kendur dengan pentil coklat kehitam-hitaman, ketika ia selesai membuka roknya, kembali ia ragu. Gerakannya terhenti sementara ia berdiri dengan hanya memakai celana dalam tipis berwarna putih yang jelas sekali menampakkan bayangan bulu vaginanya yang hitam dan lebat itu. Aku sengaja mendiamkannya karena aku mau melihat apa yang dimaui ibu ini, tetapi aku sudah merencanakan bahwa ibu yang satu ini akan aku periksa habis-habisan biar dia kapok.
Akhirnya Bu Sugito jadi juga membuka celananya sehingga terpampanglah di hadapanku tubuhnya yang mulus dengan bulu yang sangat lebat di pangkal pahanya serta di ketiaknya. Dari yang aku lihat ini aku langsung tahu bahwa ibu ini hiperseks. Jadi aku heran juga kenapa dia begitu ragu-ragu untuk telanjang di hadapanku, hal ini membuatku jadi ingin mengetahui sebabnya.
Ibu Sugito hanya berdiri mematung di depanku tangannya berusaha menutupi pangkal pahanya. Aku langsung berdiri dari kursiku dan berjalan mendekatinya, aku memutari tubuhnya yang bersih dan harum itu, tetapi tak ada sesuatu yang janggal. Tanpa ragu kusuruh dia duduk di sofa yang ada di ruang kerjaku dan kubaringkan. Dengan pelahan aku merentangkan kakinya sehingga aku dapat melihat vaginanya yang penuh bulu itu, karena bulunya sangat lebat, terpaksa aku menyibakkannya sehingga dapat kulihat bibir kemaluannya. Aku agak kaget ketika kulihat liang vagina Ibu Sugito ini begitu lebar dan bibirnya menjuntai keluar. Rupanya Ibu Sugito senang masturbasi dengan alat-alat sehingga liangnya jadi molor seperti ini.
Aku langsung menanyakan hal ini kepadanya dan dengan malu-malu dia mengiakan dugaanku. Untuk menangkal masalahnya, aku minta Ibu Sugito untuk saat itu juga melakukan masturbasi di depanku, dengan ragu-ragu ia berdiri dan mengambil handbagnya, dari situ ia mengeluarkan sebuah alat mirip penis yang berwarna coklat, setelah itu dia duduk lagi dan mengambil posisi seperti jongkok untuk kemudian penis karet itu dimasukkannya ke dalam liang vaginanya sampai amblas tinggal pangkalnya saja. Setelah itu dia memutar-mutar pantatnya di atas penis karet itu sambil memejamkan matanya.
Aku sendiri jadi tak tahan melihat pemandangan ini, akupun duduk di depannya dan kukeluarkan penisku yang langsung juga kukocok-kocok mengimbangi Bu Sugito yang sedang asyik, Bu Sugito jadi kaget ketika melihat aku mengeluarkan penisku yang begitu panjangnya, gerakannya terhenti memandang penisku yang 18 cm itu. Ternyata dia berani juga menanyakan mengapa kok tidak penisku saja yang dimasukkan vaginanya agar benar-benar nikmat, aku mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan itu. Kuminta dia agar segera berusaha mencapai puncak kenikmatannya.
Rupanya Ibu Sugito tidak tahan melihat tanganku mengelus-elus penisku sendiri yang tegak lurus seperti tiang bendera itu. Ia mulai merintih makin lama makin keras dan akhirnya ia mengejang mencapai kepuasannya. Dasar hiperseks, ketika ia melepas penis karetnya, tangannya ikut-ikutan meremas penisku dengan lembut. Aku berkata kepadanya bahwa aku mau memasukkan penisku ke vaginanya asal aku tidak melakukan gerakan apapun. Ibu Sugito mengangguk dan akupun segera mengarahkan penisku ke antara selangkangan Bu Sugito yang sudah merentangkan kakinya lebar-lebar itu. Sekali tekan penisku masuk separuh dan ternyata aku tidak bisa menghabiskan seluruh penisku ke dalam liangnya. Aku benar-benar heran, karena dengan penis karet yang begitu besar dia sanggup menelannya sampai habis, tetapi kenapa penisku kok hanya masuk tiga perempatnya. Aku tidak peduli, sementara Ibu Sugito sibuk memutar-mutar pantatnya agar dia dapat mencapai orgasme lagi. Memang benar sekitar 5 menit dia merintih keras dan kurasakan cairan hangat membasahi ujung penisku. Tanganku segera meraih interkom dan kupanggil Mery agar masuk.
Ketika Mery memasuki ruanganku, Ibu Sugito jadi kaget dan berusaha menutupi tubuhnya, tetapi Mery tak peduli, dia langsung mendatangiku yang duduk di kursi. Aku minta Mery untuk mengambil tisue basah dan membersihkan penisku yang masih gagah itu dengan tisue. Mery dengan sigap mengeringkan cairan vagina Ibu Sugito yang ada di penisku sementara aku diam saja di atas kursi, ketika semuanya sudah kering dan bersih, Mery tanpa sungkan sempat mengulum ujung penisku serta meremasnya sebelum dia masuk lagi ke ruangannya. Aku langsung kembali ke tempat dudukku dan segera kuberikan penangkal tambahan untuk masalah Ibu Sugito ini, aku yakin bahwa dalam waktu 1 minggu suaminya akan kembali kepadanya, karena sebenarnya Ibu Sugito sangat pandai memuaskan suaminya hanya saja mungkin belakangan ini dia terlalu sering main sendiri sehingga dia jadi lengah.
Baru pasien yang ketiga, ibu yang aku inginkan memasuki ruangan kantorku, benar-benar cantik dan anggun tinggi besar dengan rambut sebahu, bibir sensual dan hidung mancung, kakinya mulus dan ramping benar-benar aduhai. Ketika memperkenalkan diri, tangannya terasa hangat dan empuk sekali, suaranya yang agak serak membuatku makin terangsang sehingga hampir aku tidak mendengar ketika ia menyebutkan namanya Pratiwi. Aku berusaha bersikap tenang dan wajar mendengarkan keluhannya. Pratiwi adalah seorang pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah, omzetnya miliaran, tetapi belakangan ini bisnisnya mengendur karena banyak tender yang meleset dan jatuh ke tangan pengusaha lain. Dia sudah berusaha macam-macam tetapi semuanya gagal total bahkan belakangan ini perusahaannnya hampir kena penalti karena kekeliruan karyawannya.
Pratiwi benar-benar gelisah dan ngeri oleh semuanya ini. Wajahnya yang cantik kelihatan tegang dan di cuping hidungnya kulihat bintik-bintik keringat menambah keseksiannya. Melihat aku memandangnya, Pratiwi juga balas memandang tanpa berkedip.
Tiba-tiba aku bertanya kepadanya, apakah dia percaya bahwa kehidupan seksnya sangat mempengaruhi pekerjaannya, Pratiwi mengangguk dengan pelan, kulihat matanya sedikit berkedip seperti kaget. Aku langsung menyambung pertanyaanku dengan pertanyaan yang aku sendiri tidak menyangka kalau itu keluar dari mulutku, karena aku menanyakan apakah dia seorang lesbian. Di luar dugaanku dia mengangguk, tetapi dia menambahkan bahwa dia juga suka berhubungan dengan pria. Aku menanyakan kepada Pratiwi, coba ibu tebak, berapa kira-kira panjang kemaluan saya, karena jika ibu bisa tepat menduganya, maka berarti saya dapat menangkal masalah ibu.
Pratiwi agak menyeringai mendengar perkataanku itu. Dengan ragu ia bertanya maksudnya panjang waktu tidur atau waktu berdiri. Aku menjelaskan yang mana saja pokoknya tepat. Pratiwi terdiam sambil berpikir keras, aku tahu dia bingung karena saat itu aku duduk di kursi di belakang meja kantorku, dan akupun memakai pakaian lengkap sehingga dia tidak mempunyai bayangan apapun tentang penisku.
Tiba-tiba saja dia meraih penggaris yang ada di mejaku dan merentangkan jari-jarinya di atas penggaris itu untuk kemudian ditunjukkannya kepadaku. Aku melihat angka yang tertera di ujung jari Pratiwi, aku kaget karena di situ tercantum angka 18.5 cm, hampir sesuai dengan kenyataannya. Pratiwi bertanya apakah itu benar, aku hanya berkata coba ukur saja sendiri. Aku langsung berdiri memutari mejaku dan mendekati Pratiwi yang sedang duduk, kubuka celanaku dan kukeluarkan penisku yang masih lemas itu. Pratiwi melirik penisku dan mengambil penggaris untuk mencoba mengukurnya, dengan ragu-ragu satu tangannya memegang penisku sementara yang satunya memegang penggaris. Tentu saja ukurannya tidak tepat karena masih lemas, seperti yang sudah kuduga, tangan Pratiwi meremas-remas penisku agar bangun dan mengurut-urut. Kubiarkan saja semua gerakannya itu, tetapi percuma saja karena penisku tetap tidur nyenyak.
Tiba-tiba saja ia menundukkan kepalanya dan..., slepp..., penisku sudah terjepit di antara bibirnya yang tebal itu, terasa hangat dan lembut sekali, kurasakan bibirnya menjepit penisku dengan gerakan yang lancar meskipun tak sedikitpun Pratiwi membasahi penisku dengan ludahnya. penisku mulai bangun dan makin lama makin mengembang, sementara Pratiwi makin lancar mengulumnya, tanganku mulai bergerak meraba buah dada Pratiwi yang montok dan kenyal itu, tanpa ragu-ragu tanganku menerobos blousenya dan meremas buah dadanya, tak kukira bahwa Pratiwi tidak memakai beha, aku dapat merasakan puting susunya yang kecil tetapi keras seperti batu itu, kuremas-remas payudaranya, dan kupelintir puting susunya.
Rasa geli di sekeliling penisku membuatku jadi tak tahan lagi, bayangkan sejak tadi aku sudah terangsang oleh ulah beberapa ibu yang aku temui, maka saat ini rasanya sudah maksimal dan, syer..., syer..., croot, air maniku memancar keras sekali dua, tiga dan empat kali memancar memenuhi mulut Pratiwi, tak sedikitpun Pratiwi melepaskan penisku semuanya masuk di dalam mulutnya dan saking banyaknya sampai sebagian mengalir keluar dari samping bibirnya. Aku meremas buah dadanya sekeras-kerasnya Pratiwi diam saja, dia asyik menelan air maniku.
Setelah dilihatnya aku sudah puas, Pratiwi mengeluarkan penisku dari mulutnya dan langsung diukurnya penisku yang masih berdiri itu dengan penggaris. Dia tersenyum ketika melihat bahwa dugaannya benar. Aku juga tersenyum karena hisapan Pratiwi yang nikmat itu. Tiba-tiba Pratiwi berdiri, tanpa kuduga ia mulai membuka pakaiannya sehingga telanjang bulat. Ia berkata bahwa sekarang saatnya aku memuaskan dia agar jadi seri. Aku jadi bernafsu lagi melihat tubuh Pratiwi yang luar biasa itu, payudaranya montok dan kenyal dengan puting yang berwarna merah muda sangat serasi sekali dengan kulitnya yang putih kekuning-kuningan itu, sementara ketiaknya juga berbulu lebat, sesuatu yang sangat aku senangi, sedangkan pangkal paha Pratiwi benar-benar menakjubkan, karena meskipun bulu vaginanya sangat lebat, tetapi Pratiwi telah mencukur sebagian bulu kemaluannya sehingga hanya tinggal bagian tengahnya tegak lurus dari pusar sampai ke bukit vaginanya.
Meskipun saat itu kami masih sama sama berdiri, Pratiwi tak segan-segan merapatkan tubuhnya dan menciumku dengan mengeluarkan lidahnya yang hangat menelusuri rongga mulutku, tanganku dengan lincah mengarahkan penisku ke liang vaginanya yang tepat menempel di depan penisku itu. Begitu ujungnya menempel, aku segera menggendong Pratiwi dan menekankan penisku sampai amblas ke dalam liang vaginanya. Dengan posisi menggendong Pratiwi dan mulut masih berkutat dengan ciuman aku berjalan menuju sofa. Pratiwi benar benar pemuas nafsu pria rupanya, karena meskipun dalam posisi yang sulit yaitu aku menggendongnya dan kakinya menjepit pantatku, dia masih sempat juga menggerak-gerakan pantatnya untuk memilin penisku yang sepertinya melengkung karena posisi tubuh kami yang berdiri ini. Begitu kami roboh di atas sofa, ciuman kami terlepas dan Pratiwi melenguh sejenak, mungkin dia merasakan enaknya sodokan penisku yang notok sampai ke liang rahimnya itu.
Tanpa malu-malu Pratiwi mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan meletakkannya di atas bahuku. Posisiku jadi bebas sekali, dengan ringan aku mendayung liang vagina Pratiwi yang sudah mulai becek itu, dan diapun dengan lincah memutar-mutar pantatnya mengimbangi tusukan penisku. Kurasakan liang vagina Pratiwi yang peret dan berpasir itu membuat penisku terasa geli sekali, entah berapa lama aku memaju-mundurkan pantatku, tetapi Pratiwi masih juga belum mencapai puncaknya begitu juga diriku sendiri. Kuhentikan gerakanku dan kuminta Pratiwi untuk menungging agar aku bisa menyetubuhinya dari belakang, aku benar-benar mata gelap dengan nafsu. Aku tak peduli lagi kalau mungkin di luar masih ada pasien yang menungguku, yang penting sekali ini aku harus membuat Pratiwi terpuaskan dan selanjutnya membantu kesulitannya agar tertanggulangi.
Ketika Pratiwi sudah menungging, tampaklah vaginanya yang sudah basah kuyup itu di pantatnya juga banyak bulu vagina sebagai tanda kalau memang bulu vagina Pratiwi luar biasa tebalnya. Aku langsung menempelkan ujung penisku yang sudah merah padam itu ke celah vagina Pratiwi dan, "slep..., bloos..", penisku amblas sampai hanya tinggal pelirku saja yang menggantung di luar. Tanganku meraih buah dada Pratiwi dan meremas-remasnya, saat itu mulai kudengar rintihan Pratiwi mula-mula pelan tetapi makin lama makin keras dan tiba-tiba kurasakan liang vagina Pratiwi mengejang-ejang dan hangat sekali. Kurasakan rasa geli dan nikmat yang luar biasa saat itu, karena jepitan vagina Pratiwi sementara aku merojoknya membuat penisku seperti diurut. Dan tanpa bisa kutahan lagi akupun ambrol merasakan nikmatnya vagina Pratiwi, air maniku menyembur menabrak dinding kemaluannya dan bercampur dengan lendir yang keluar dari vaginanya. Aku terkulai lemas sementara Pratiwi menggigit pundakku karena menahan rasa nikmat dan agar tidak sampai berteriak karena rasa nikmat tadi.
Dalam keadaan masih gemetar, aku segera memakai pakaianku kembali begitu juga dengan Pratiwi, wajahnya semeringah dan tersenyum terus. Aku berpura-pura seperti tak ada apa-apa dan setelah kami berdua duduk berhadapan, aku memanggil Mery masuk. Mery tersenyum melihat wajahku yang mungkin kentara kalau habis main seks itu. Aku minta dibuatkan minum dan Mery dengan patuh membuatkan minuman buat kami berdua. Bagiku masalah Pratiwi bukan hal yang sulit dengan bermeditasi sejenak aku sudah berhasil menyelesaikan masalahnya, karena ada bapak pejabat yang pernah ditolak olehnya untuk berhubungan intim rupanya sakit hati dan selalu mempersulit Pratiwi. Aku katakan pada Pratiwi bahwa bapak itu sekarang sudah berubah tetapi sebaiknya Pratiwi jangan sekali kali memberi dia kenikmatan karena berbahaya. Pratiwi mengangguk manja dan ketika mau pulang dia sempat mencium bibirku lama sekali. Aku berjanji pada Pratiwi untuk sekali kali makan siang dengannya tentu setelah itu kita juga perlu kenikmatan seks.
Subscribe to:
Posts (Atom)